Rabu, 18 November 2009

INFO SEPUTAR MACET DI KOTA DEPOK

Para pengguna jalan, khususnya pengguna kendaraan pribadi ( mobil pribadi, motor pribadi, yang sewa juga boleh lah). berikut sekilas info jalan -jalan rawan kemacetan di kota Depok dan sekitarnya :

1. Margonda Raya ( Dari kelapa dua Hingga Ujung terminal depok)

2. Pasar Cisalak

3. Limo ( depan masjid kubah Emas hingga arah Cinere)

4. Kelapa Dua ( Depan kampus Guna Dharma)

5. PAL AURI ( Pasar PAL)

6. Arah Sawangan ( Depan lapangan pesawat terbang Pondok Cabe )

Untuk para pengendara yang melalui jalan Margonda kemacetan terjadi disaat jam pulang kerja dan Akhir Pekan.
Pasar cisalak, Hampir setiap hari, kepadatan terjadi setiap menit karena banyaknya angkutan umum yang ngetem sembarangan di bahu jalan.
Limo, perbaikan jalan yang tidak tahu kapan selesainya serta tidak berfungsinya saluran air, sehingga air mengenang di jalan raya yang dapat membuat Aspal lama kelamaan terkikis.
Kelapa Dua, padat merayap disaat bubaran kampus, dan banyaknya angkot yang menunggu penumpang di depan kampus UG.
PAL AURI, kemacetan terjadi di siang hari, di saat mobil AKAP yang parkir Berderet seperti mau memasuki Kapal Verry di Merak.
Arah Sawangan, Setiap hari kerja , mungkin orang se kota Depok paham betul atas jalan ini, sempit dan sering rusak.

DARI HUTAN MENGUSIR KEMISKINAN

Dari Hutan Mengusir Kemiskinan Sunaryo Adhiatmoko - detikNews

Jakarta - Meninggalkan kampung halaman, sungguh catatan kehidupan yang kadang menyesakkan. Terlebih jika kepergian itu lantaran diusir oleh kemiskinan. Pilihan pahit mesti ditelan. Suka dan duka. Perubahan 'radikal' harus ditempuh untuk memangkas rantai kemiskinan. Jika terpenggal, terjadilah perbaikan generasi. Sebaliknya jika pilihan itu gagal, maka kemiskinan akan bestari abadi. Jalan meralat generasi agar tak terus terpuruk ini, pernah ditempuh Parmin (50). Pergi dari tanah tumpah darahnya di Bantul, menjadi catatan memilukan dalam sepanjang hidupnya. Bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil, ia hijrah ke bumi Lahat di Sumatera Selatan sebagai transmigran.Bersama 600 KK lainnya dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, Parmin mendiami rumah kayu 5x 6 meter. Kala itu, 1982, SP II Bumilampung, Margamulya, Kikim Timur, Lahat, masih dikepung belantara. Hingga kini seramnya juga masih tampak. Malah menurut sebagian orang, Lahat distigma sebagai kampung para bandit dan pencoleng."Hindari melintas pada malam hari di Lahat, jika menempuh perjalanan ke Sumatera," wasiat seorang sopir truk lintas Sumatera dalam perbincangan kecil di sebuah rumah makan di Muara Enim. Menurut sopir yang mengaku pernah menjadi korban bajing loncat itu, jalur Lahat dan Tebing Tinggi yang sudah bertahun-tahun dihajar jalan rusak menjadi wilayah rawan. Tetapi bagi Parmin yang telah berbulat hati, cerita-cerita seram macam itu tak menyiutkan nyali. Baginya hutan belantara, pencuri, perampok, dan pembunuh hanyalah kerikil kecil dalam meniti terjalnya kehidupan. Ia bisa sirna oleh pikiran dan prasangka positif manusia. Karena horor yang paling menakutkan dalam kehidupannya adalah kemiskinan.Perlahan, tekun, dan ulet Parmin mulai melawan 'hantu' itu. Sosok yang membayangi suram nasib anak cucunya, sejak di Bantul dulu. Dalam kurun 25 tahun, ia telah membuktikan ketangguhannya. Sementara dari 600 KK yang datang bersama Parmin membabat belantara Lahat pada 1982, tak lebih dari 20 persen yang tersisa. "Banyak yang tak bertahan sampai lima tahun di sini. Mereka pulang ke Jawa atau pindah ke tempat lain. Sekarang kampung ini banyak dihuni oang-orang baru. Lumayan menambah jumlah jiwa dan desa lebih semarak," kata Parmin.Etos Parmin yang membumi pun berbuah hasil. Kini ia menepis anggapan jika kehidupan orang transmigran selalu identik dengan ketertinggalan. Benar memang, hidup di pedalaman terputus segala akses. Minus teknologi informasi, sarana pendidikan, dan terpenggal fasilitas transportasi. Selain tidak ada kendaraan umum, infrastruktur jalan yang hancur menjadi bumbu keperihan lainnya."Ini lebih baik daripada kami tetap tinggal di kampung dengan lahan sempit dan sumberdaya alam yang terbatas. Kami masih bisa makan dengan memanfaatkan lahan yang luas. Semua tergantung tekad kita, mau mengubah nasib apa tidak," ujar Lilik Sumantri (40) ketua RT 10/3 Margamulya, asal Tasikmalaya.Seperti diakui Parmin dan Lilik Sumantri, hidup di pedalaman sebagai transmigran memang serba terbatas. Malah, jika kita silaturahim ke dapur mereka, rasanya sulit meraba-raba bagaimana Parmin dan komunitasnya bisa bertahan. Mencukupi air bersih dengan menampung air hujan dan terancam kekeringan tatkala kemarau melanda. Juga berjaga di ladang siang malam, untuk menghalau ancaman babi hutan yang merusak tanaman mereka.Hidup yang demikian, mutlak dibutuhkan keberanian, ketangguhan, dan keuletan. Dengan itu, Parmin bisa menyekolahkan tiga anaknya di Yogyakarta. Membekali mereka dengan ilmu dan keterampilan. Anak-anaknya dikirim keluar dari pedalaman transmigrasi tidak untuk menjadi orang sukses di perantauan. Tetapi diminta membawa hasil belajarnya di ranah rantau, untuk membangun kampungnya yang masih tertinggal. Parmin membagi semangat dan visi hidupnya pada para transmigran lain. Agar pilihan bedol desa dulu, tidaklah sia-sia. Meraih apa yang dicita-citakan dan memperbaiki nasib agar lebih baik. Sebagian ada yang setuju dengan gagasan Parmin. Namun banyak juga yang ragu, bahkan mencibir. Bagaimana memikirkan visi, bertahan sehari saja amat berat.Parmin pun menguji diri. Di kampung yang dikepung hutan karet dan sawit, tiga anak Parmin menjadi entrepreneur. Membuka kursus elektro dan membuka konveksi. Banyak dari warga lokal, warga transmigran, bahkan dari kota Lahat sendiri bertandang ke kampung Parmin. Membuat desa yang gulita di kala malam hari itu, menjadi hidup dengan aktivitas. Serta mempelopori berdirinya pesantren dan madrasah yang menjadi tumpuan pendidikan anak-anak di desa itu.Dalam keuletan Parmin, ada cermin untuk berkaca. Yakni semangat kemandirian. Tak menyerah, oleh tempaan alam keras dan lingkungan yang tak nyaman. Hidup serba terbatas, bahkan terisolasi bukan menjadi alasan untuk mengelak dari tempaan kemiskinan. Hantu bernama kemiskinan itu, mesti diusir hingga titik nadir.Semangat yang membumi ini, hendaknya menyemai di sanubari semua kita. Dalam kekinian, sikap hidup Parmin, layak menjadi nuklir perubahan budaya kemandirian. Dalam serba keterbatasan ia mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada di tempat tanahnya berpijak, untuk membalik kehidupan lebih sejahtera. "Dulu, orang seperti kami selalu dibilang melarat. Sekarang silakan lihat kami, setelah 24 tahun mengolah hutan tempat kami tinggal, hasil bumi Lahat membuat kami sejahtera. Negeri ini kaya, tergantung bagaimana kita mengolah dan mengelolanya," tandas Parmin semangat.

Mari kita semua mengambil pesan moral dari tulisan ini, semangat transmigran untuk mengubah nasib patut di contoh. Semoga para transmigran yang ada di Kuamang-Kuning selalu mempunyai Spirit seperti tokoh yang tertulis di atas. pantang mundur saudara-saudaraku, walaupun aku telah lama meninggakan kuamang-kuning, namun do'a ku tuk keluarga besar kuamang-kuning umumnya dan kuamang-kuning VI khusunya terus ku panjatkan semoga Allah SWT, memberikan limpahan Rezeki kepada kita semua . Wassalm Sugito. Alumni SMAN 2 PELEPAT ILIR

Selasa, 17 November 2009

MENGENANG SMAN2 PELEPAT ILIR

Assalmkm,
Sebelas tahun sudah aku meninggalkan almamaterku, hutan belantara yang dulu menjadi pemendanganku disaat mengayuh sepeda tuk menuntut ilmu, kini (menurut info yang aku dapatkan via temen) kuamang kuning sudah berubah menjadi daerah yang produktif, sejahtera dan berkecukupan. dulu yang gelap gulita kini telah berubah menjadi terang benerang, semoga dengan adanya perubahan dari berbagai insfrastruktur yang ada, akan menambah kualitas hidup masyarakat kuamang-kuning umumnya dan temen-temen alumni SMA N 2 PELEPAT ILIR yang terus membangun kuamang-kuning khususnya. untuk adik2 yang masih menuntut ilmu di SMA N 2 PELEPAT ILIR, maju terus, banyak-banyak bersyukur dan selalu tekun belajar, semoga kelak akan membawa adik-adik menuju sukses. tak lupa dengan sepenggal tulisan ini saya pribadi mengucapkan terima kasih yang tiada terkira kepada Bapak/Ibu guru SMA N 2 PELEPAT ILIR diantaranya :1. Bapak UUD HUDAYA (Wali Kelas Saya, kelas 3 IPA)2. Ibu Aida Maria (Guru Fisika)3. Ibu Eko Setyowati ( Guru Matematika)4. Ibu Reni Herawati (Guru Bahasa Indonesia)5. Oskar Damanik (Guru Ekonomi)dan Bapak/Ibu yang lainnya, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dari saya. mohon maaf karena disaat menulis tulisan ini, saya harus menyiapkan laporan akhir tahun. Terima KasihWassalam : SUGITO, Alumni SMA N 2 PELEPAT ILIR Kab. BUNGO